Pengaruh UUD menangkal radikalisme di Indonesia, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis fungsi Pancasila dan UUD 1945 untuk menangkis radikalisme yang berkembang di Indonesia. Studi ini menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia menjalankan fungsinya menangkis gerakan kelompok radikal dengan dua cara,yaitu melakukan tindakan hukum dan mencegahnya.
Radikalisme Bertentangan dengan UUD
Dalam perkembangan hukum, pembentukan negara Khilafah bertentangan dengan konsep Negara-Bangsa sebagai Negara-Bangsa built-in di Indonesia. Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu adalah Negara-Bangsa dan bukan Negara religius. Kesepakatan para founding fathers tertuang dalam UUD 1945. Isu radikalisme memang menjadi fenomena yang banyak diperbincangkan di masyarakat.
Melalui berita setiap hari kita bisa melihat korban jiwa, bangunan rusak, fasilitas umum hancur, kota hancur, baik karena bom bunuh diri maupun karena pertempuran antara pemerintah dan kelompok radikal. Kami tidak dapat menahan rasa sakit dan air mata ketika kami melihat tubuh manusia hancur berserakan oleh bom bunuh diri. Bangunan di kota itu hancur karena terkena bom.
Isu Radikalisme
Banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban, beberapa meninggal, cacat seumur hidup, yatim piatu. Suriah, Irak, dan Afghanistan adalah di antara sedikit negara dunia yang telah dihancurkan oleh radikalisme. Negaranya berantakan karena konflik yang tak ada habisnya. Banyak warga menjadi pengungsi di negara lain untuk mencari perlindungan.
Bahkan radikalisme telah menjadi isu global yang sangat memprihatinkan, karena sangat meresahkan masyarakat hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Radikalisme dianggap sebagai masalah global yang sangat meresahkan karena telah memakan banyak korban, baik manusia maupun harta benda.
Mereka akhirnya tinggal di negara lain berdasarkan belas kasihan masyarakat internasional. Banyak pengungsi kemudian menjadi tunawisma atau pengemis di negara lain. Tidak jarang diantara para pengungsi tersebut mendapatkan ketidakadilan dan penganiayaan di tempat penampungan, karena dianggap membebani negara tuan rumah.
Masalah kemudian muncul ketika gerakan radikalisme dikaitkan dengan Islam. Alhasil, kata Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, pasca bom Kuningan, banyak pihak mencoba mengaitkan aksi bom dengan kelompok yang dicap “radikal”. Hal ini muncul dari pemberitaan media tentang “Islam Radikal” (Umar: 2010, hlm. 169-186).
Tentunya hal ini sangat merugikan para pemeluk agama Islam. Oleh karena itu penulis tidak setuju dengan istilah “Islam Radikal”. Menurut penulis, kebetulan saja kelompok radikal ini adalah seorang Muslim yang mengusung nama Islam dalam gerakannya. Jadi, ini bukan Islam radikal, tapi kelompok radikal.
Islam sama dengan agama lain yaitu agama yang damai dan tidak pernah mengajarkan radikalisme dan permusuhan. Oleh karena itu, lebih tepat disebut “kelompok radikal”. Alasan lain penulis tidak setuju dengan istilah “Islam radikal” karena ada kelompok radikal yang juga bukan Muslim. Misalnya di Papua, kelompok radikal adalah orang Papua yang bukan Muslim. Begitu juga kelompok radikal di Eropa, Afrika, Amerika dan sebagainya juga bukan Muslim.
Indonesia juga termasuk negara yang sangat resah dengan gerakan radikalisme. Masih belum dilupakan, ratusan orang tewas akibat bom bunuh diri di Legian Bali, Sabtu 12 Oktober 2002. Jenazah para korban dimusnahkan dan berserakan, serta banyak yang mengalami trauma dan cacat seumur hidup. Begitu pula dengan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot Jakarta, kerusuhan yang terjadi di Ambon, Poso, Tentena, Aceh, Papua juga memakan banyak korban.
Korban terus berjatuhan karena aksi bom bunuh diri di beberapa tempat di Indonesia, seperti penikaman yang dilakukan terhadap aparat kepolisian selama bertugas di Jakarta. Saat artikel ini ditulis, pada 8 Mei 2018 terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh para tahanan teroris di Rutan Mako Brimob Depok, yang menyebabkan 6 korban polisi sedang bertugas dan 1 orang lainnya dianiaya.
Pada tanggal 13 Mei 2018, 3 gereja di Surabaya dibom, yang menelan korban 14 orang tewas dan puluhan luka-luka. Pada malam 13 Mei 2018 juga terdapat bom di apartemen Wonocolo Siduarjo, pada 14 Mei 2018, bom kembali meledak di Polres Surabaya, dan pada 16 Mei 2018, bom kembali meledak di Riau. Mabes Polri Semua diklaim tidak sedikit korbannya.
Gerakan Politik Radikalisme
Belakangan ini, gerakan radikalisme semakin memprihatinkan. Itu telah sampai pada pemecah belah bangsa dan negara. Hal ini terlihat dari adanya gerakan yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar bernegara di Indonesia dengan ideologi yang dianutnya. Melalui media, mereka membangun isu-isu SARA, khususnya isu-isu agama untuk memecah belah bangsa ini.
Mereka juga membangun isu Partai Komunis Indonesia (PKI), kemiskinan dan hutang negara, hingga menimbulkan keresahan di masyarakat serta kebencian terhadap pemerintah dan antar kelompok (golongan). Membangun isu Islam dalam gerakannya dilakukan untuk menarik simpati masyarakat terhadap gerakannya karena kebetulan masyarakat Indonesia lebih Muslim.
Secara sistematis, terstruktur, dan masif mereka membangun opini tentang bagaimana menciptakan kebisingan politik di Indonesia. Tentu saja, ini tidak boleh dibiarkan. Indonesia sebagai negara yang berdaulat harus mengambil sikap tegas untuk menumpas gerakan kelompok radikal ini. Terlebih lagi, gerakan tersebut telah menyebabkan pengambilalihan pemerintahan dan penggantian dasar negara atau sistem hukum yang selama ini berlaku di Indonesia dengan ideologinya.
Kami ingin Indonesia damai dan kondusif, dan tidak ingin peristiwa seperti di negara lain yang porak poranda karena radikalisme. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dapat menangkis pemahaman tentang gerakan kelompok radikalisme.
Bagaimana UUD Menindak Kelompok Radikalisme?
Sebagaimana dikemukakan oleh Sidharta (Sidharta: 2009), bahwa negara adalah suatu bangsa yang mendiami suatu wilayah (bagian dari permukaan bumi partikular). Dalam hal ini, negara yang mengorganisir dirinya secara politik dalam badan hukum publik sebagai wahana demokrasi dalam semangat kebersamaan berupaya mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat.
Pemerintah berkedudukan sebagai primus inter pares (bukan pemilik atau penguasa negara dan rakyat), sebagai salah satu yang mengemban tugas memimpin masyarakat dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, secara khusus mengupayakan pencapaian tujuan bernegara.
Sementara itu, Budiardjo (Budiardjo: 2003) juga mengatakan bahwa Negara adalah integrasi politik, itu adalah organisasi utama kekuasaan politik.
Berangkat dari dua pendapat di atas, tampak bahwa negara adalah organisasi politik yang paling kuat. Ia dibentuk untuk mengatur dan mengendalikan berbagai kegiatan dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi semua orang. Tugas tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dengan perencanaan dan tunduk pada kaidah hukum positif dengan mengacu pada cita-cita hukum, maksud dan tujuan negara secara kontekstual.
Selain itu, negara dapat memaksakan kewenangannya secara legal kepada semua kelompok kekuasaan lainnya dalam menciptakan perdamaian. Negara dapat menetapkan cara dan batasan di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu maupun kelompok atau perkumpulan, maupun negaranya sendiri. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 disebutkan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi segala bangsa dan menumpahkan darah bangsa Indonesia tanpa terkecuali.
Baca Juga: Perkembangan UUD Republik Indonesia 1945
Berdasarkan ketentuan ini, pemerintah harus melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Artinya, pemerintah berhak menindak setiap kegiatan organisasi kemasyarakatan yang mengganggu keamanan dan ketentraman negara.
Justru jika pemerintah tidak mampu melindungi negara, dianggap gagal dalam menjalankan fungsinya (Pandjaitan, 2017). Ini merupakan pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Demikian ulasan makna pancasila bagi perkembangan hukum semoga bermanfaat.